Minggu, 12 Agustus 2012

C I N T A

0 komentar

Al-Mubarrid menuturkan dari Abu Kamil, dari Ishaq bin Ibrahim, dari Raj’ bin Amru An Nakha’y, dia berkata, “Di Kota Kuffah ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah dan berijtihad. Suatu hari dia singgah di suatu kaum dari An Nakha.’ Di sana pandangannya berpapasan dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh cinta kepadanya dan dia berpikir untuk memilikinya. Dia pun singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan lamaran kepada bapak sang gadis. Namun ia dikabari bapaknya, bahwa gadis itu sudah dilamar anak pamannya sendiri. Tatkala keduanya semakin didera derita cinta, maka sang gadis mengirim utusan kepada pemuda untuk mengatakan, “Saya sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika engkau mau, maka aku bisa menemuimu, atau jika engkau mau, maka saya bisa mengatur cara agar engkau bisa masuk ke dalam rumahku.”
Sang pemuda berkata utusan itu, “Dan tidaklah ada pilihan di antara dua hal yang dicintai ini, “Sesungguhnya aku takut azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku? Sesungguhnya aku takut kepada Allah? Demi Allah, tak seorang pun yang lebih berhak atas demikian  itu kecuali satu orang saja, sekalipun manusia bisa bersekutu dalam masalah ini.” Setelah itu gadis tersebut memisahkan diri dari kerinduannya kepada pemuda tersebut hingga dia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu. Sang pemuda menziarahi keburunnya, menangis di sana dan berdoa baginya. Suatu hari dia tak kuasa menahan kantuk tatkala sedang berada di atas kuburnya, sehingga ia tertidur pulas. Lalu ia bermimpi melihat gadis yang dicintainya dalam rupa yang sangat menawan. Dia bertanya, “Bagaimana keadaanmy? Apa yang kautemukan setelah berpisah denganku?”
Gadis itu menjawab, “Cinta yang manis wahai orang yang kubutuhkan. Cintamu adalah cinta yang menuntun kepada kebaikan dan kesantunan.”
“Sampai kapan engkau dalam keadaan seperti itu?” tanya sang pemuda.
“Hingga mencapai kenikmatan dan kehidupan yang tiada sirna di taman surga yang abadi, suatu kekayaan yang tidak lenyap.”
Sang pemuda berkata, “Sebutlah namaku di sana, karena aku tak dapat melupakan dirimu.”
“Demi Allah, aku pun begitu pula, tidak dapat melupakanmu. Aku telah memohon kepada pelindungku dan pelindungmu agar menyatukan kita berdua. Maka tolonglah aku untuk menggapai tujuan ini dengan sekuat tenaga.”
“Kapan aku bisa melihatmu lagi?” tanya sang pemuda.
“Tak lama engkau akan bertemu aku dan melihatku,” jawab sang gadis.
Setelah bermimpi seperti itu, pemuda tersebut hanya hidup selama tujuh hari.
Read more ►

Sabtu, 04 Agustus 2012

Di mana Allah ?

0 komentar

Padang Pasir membentang luas. Matahari bersinar menyala seolah hendak membakar ubun-ubun kepala. Di sebuah jalan yang membelah padang pasir, tampak seseorang berjubah putih sedang berjalan kelelahan. Orang itu tak lain adalah Abdullah bin Umar ra, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw, yang terkenal kealiman (tinggi ilmu) dan kezuhudannya (sederhana). Dia sedang berjalan keluar dari Madinah menuju Makka untuk beribadah di Baitullah.

Berkali-kali Abdullah bin Umar ra menghentikan langkahnya sesaat, untuk meminum seteguk air perbekalannya. Namun sayang, kantong airnya telah kering kerontang. Dia benar-benar kehausan. Dia melihat ke sekelilingnya, siapa tahu ada orang Badui atau pengembala yang biasa memberinya seteguk air penawar dahaya. Namun, sejauh mata memandang, yang dia temukan hanyalah warna kecoklatan samudera pasir.

Dia tetap bersabar dan terus berjalan, sampai akhirnya matanya menangkap beberapa titik-titik hitam dan putih di kejauhan sana; di balik bukit pasir. Hatinya merasa lega, berkali-kali dia mengucapkan syukur alhamdulillah. Dia yakin, titik hitam dan putih itu adalah manusia. Abullah terus melangkahkan kaki untuk mendekati titik hitam dan putih itu. Ketika sudah dekat, perkiraannya tidak meleset. Titik-titik hitam dan putih itu adalah seorag pengembala dan kambing-kambingnya.
Ketika Abdullah bin Umar ra sudah berada tak jauh dari pengembala itu, tiba-tiba terlintas dalam benaknya untuk menguji pengembala itu. Dia ingin tahu, apakah ajaran Islam telah sampai ke tengah padang pasir yang terpencil jauh itu? Dia juga ingin tahu, apakah pengembala itu telah menerima ajaran suci yang dibawa Nabi Muhammad saw?

Setelah mengucapkan salam, Abdullah bin Umar berkata kepada pengembala yang masih bocah itu, “Hai Bocah, aku ingin membeli seekor kambing yang kau gembalakan ini. Bekalku sudah habis.”
“Maaf Tuan, aku hanyalah seorang budak yang bertugas mengembalakan kambing-kambing ini. Aku tidak bisa menjualnnya. Ia bukan milikku tapi milik majikanku. Aku tidak diberi wewenang untuk menjualnya,” jawab pengembala kambing itu.

“Ah, itu masalah yang mudah. Begini, kau jual seekor saja kambing gembalamu padaku. Kambing yang kau jaga ini sangat banyak, tentu sangat sulit bagi pemiliknya untuk menghitung jumlahnya. Atau, kalau pun dia tahu ada seekor kambingnya tidak ada, bilang saja telah dimangsa serigala padang pasir. Mudah sekali, bukan? Kau pun bisa membawa uangnya,” bujuk Abdullah bin Umar ra dengan wajah yang tampak serius.
“Lalu, di mana Allah? Pemilik kambing ini memang tidak akan tahu dan bisa dibohongi, tetapi ada Dzat yang Mahatahu, yang pasti melihat dan mengetahui apa yang kita lakukan. Apa kau kira Allah tidak ada?” jawab pengembala itu mantap.

Sungguh, jawaban itu membuat Abdullah bin Umar tersentak kaget. “Aku tidak diberi kuasa oleh pemilik kambing ini untuk menjualnya. Aku hanya diperbolehkan mengembalakannya dan meminum air susunya ketika aku membutuhkannya dan memberi minum para musafir yang kehausan,” sambung pengembala itu.
Dia berkata begitu sambil berjongkok, memerah susu seekor kambing ke dalam sebuah mangkuk. Begitu penuh berisi susu, dia memberikannya pada Abdullah bin Umar.
“Minumlah Tuan, kulihat Anda kehausan. Jika masih kurang, bisa tambah. Jangan kuatir, susu ini halal. Allah tahu halal sebab pemiliknya menyuruh aku untuk memberi minum musafir yang membutuhkan,” kata pengembala itu dengan tutur kata yang halus dan ramah.
Abdullah bin Umar menerima mangkuk berisi susu itu dengan hati terharu. Dia minum sampai rasa hausnya hilang. Setelah itu, dia mohon diri.

Di jalan, dia tidak bisa menyembunyikan tangisnya, teringat kata-kata pengembala itu, “Di mana Allah? Apakah kau kira Allah tidak ada?”
Abdullah bin Umar menangis mengingat bahwa seorang pengembal kambing di tengah padang pasir uang pakainnya kumal, ternyata memiliki rasa takwa begitu dalam. Dia memiliki kejujuran yang tinggi. Hatinya menyinarkan keimanan. Akhlaknya sungguh mulia. Ajaran Rasulullah saw telah terpatri dalam jiwanya. Abdullah bin Umar terus melangkahkan kaki sambil bercucuran air mata.
Lalu, Abdullah bin Umar mencari kampung terdekat dan menanyakan, siapakah tuan dari sang pengembala kambing itu?

Begitu berjumpa, Abdullah bin Umar langsung membeli budak itu dan langsung memerdekakannya.
Seorang manusia yang jujur dan memiliki rasa ketakwaan kepada Allah yang begitu tinggi tidaklah sepatutnya menjadi hamba sahaya manusia. Dia hanya pantas menjadi hamba Allah SWT.
Read more ►

Rabu, 01 Agustus 2012

Filosofi Penciptaan Jin dan Setan

0 komentar

Filosofi penciptaan Jin dan setan adalah agar mereka beribadah dan menyembah Allah. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
 “Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku”

Keberadaan setan yang mengajak manusia kepada keburukan dan maksiat hidup di antara sistem manusia dan setan laksana sisi kanan dan kiri jalan raya. Sudah barang tentu, tanpa keberadaan sisi kanan-kiri jalan, maka kita juga tidak dapat membayangkan keberadaan jalan raya dan kemaslahatan bisikan-bisikan setan adalah sebagai ujian bagi manusia di mana melalui ujian itu orang-orang yang beriman diketahui dari yang tidak beriman. 

Dalam melakukan godaannya, setan berada di bawah kekuasaan Allah dan setan merupakan sarana yang diciptakan Allah dan setan merupakan sarana yang diciptakan Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Di sini mungkin muncul satu pertanyaan, ketika telah ada hawa nafsu dan syahwat pada diri manusia, lantas apa gunanya keberadaan diri manusia tidak cukup untuk menyesatkan manusia? Sebagai jawabannya adalah tidak bisa dikatakan bahwa ada dua faktor atau penggerak yang mengajak manusia kepada keburukan, yaitu faktor hawa nafsu dan faktor setan sehingga dipersoalkan mengapa tidak cukup satu saja dari kedua faktor tersebut ? Begitu juga dalam perbuatan-perbuatan baik, malaikat bukan merupakan faktor lain dari faktor kecenderungan mencintai kebaikan yang ada di dalam diri manusia. Tetapi malaikat merupakan penggerak kecenderungan kepada perbuatan baik itu sendiri. Dengan artian para malaikat adalah yang mewujudkan ilham-ilham baik pada diri manusia. Setan juga bukan faktor dari ilham ilham buruk, melainkan setan adalah yang mewujudkan keburukan tersebut. Maknanya setan adalah sumber dari hawa nafsu itu sendiri. Dalam kaitan ini, Imam Jakfar Shadiq mengatakan: “Setiap hati memiliki dua telinga, di atas salah satu telinga satunya lagi berdiri dua malaikat petunjuk, dan di telinga itu, berdiri dua malaikat petunjuk, dan di telinga satunya lagi berdiri setan pemfitnah, yang satu memerintah dan lainnya mencegah. Setan memerintah dan lainnya mencegah. Setan memerintahkan berbuat dosa dan malaikat mencegahnya.”

Sejak pertama, Allah SWT tidak menciptakan setan sebagai setan melainkan sebuah makhluk ciptaan Allah yang kemudian menjadi setan. Bertahun-tahun setan duduk berkumpul dengan para malaikat, bahkan sangat dihormati serta memiliki kedudukan tinggi dan fitrah yang bersih, meskipun dari segi penciptaan bukan dari golongan malaikat. Namun kemudian setan menyalahgunakan kebebasannya dan ketika membangkang perintah Allah agar bersujud kepada Adam, setan memulai pembangkangannya. Maka penciptaanya sama halnya dengan ciptaan-ciptaan lainnya adalah suci dan kesesatannya dikarenakan kehendaknya sendiri.
Untuk para pesuluk jalan kebenaran, setan tidak merugikan bahkan terhitung sebagai rahasia kesempurnaan, karena keberadaan musuh yang kuat bagi manusia menyebabkan pertumbuhan dan kepiawaian manusia. Umumnya, kesempurnaan melainkan setelah dihadapkan oleh musuh atau pertentangan yang kuat.

Dari sisi lain, perlawanan secara terus menerus dengan setan akan menguatkan ruh keimanan dan mempersiapkan manusia untuk hidup abadi dan sejahtera di surga yang dipenuhi kenikmatan, karena setanlah yang mencegah para hamba Allah berjalan di jalan kesesatan dan kegelapan.

Maka penciptaan setan adalah suatu perkara yang krusial sehingga para hamba Allah dapat memperoleh makrifah dan menempatkan dirinya di hamparan rahmat Allah yang Mahaluas.
Read more ►
 

Copyright © ISLAM CENTER Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger