Hadis Nabi menyatakan:
“Tidak akan
sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka
kepada wanita”
Yuk kita
kaji hadis tersebut,,,!!!
Jumhur ulama memahami hadis tersebut secara
tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut,
pengangkatan wanita menjadi kepala Negara, hakim pengadilan, dan berbagai
jabatan yang setara dengannya dilarang. Mereka menyatakan bahwa wanita menurut
petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.
Untuk memahami hadits tersebut, perlu dikaji
terlebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadits itu disabdakan
oleh Nabi. Hadits itu disabdakan tatkala Nabi mendengar penjelasan dari sahabat
beliau tentang pengangkata wanita menjadi ratu di Persia. Peristiwa suksesi
terjadi pada tahun 9 H.
Menurut tradisi yang berlangsung di Persia
sebelum itu, yang diangkat sebagai kepala Negara adalah seorang laki-laki. Yang
terjadi pada tahun 9 H itu menyalahi tradisi tersebut. Yang diangkat sebagai
kepala Negara bukan seorang laki-laki, melainkan seorang wanita, yakni Buwaran
binti Syairawaih bin Kisra bin Barwaiz. Dia diangkat sebagai ratu (kisra) di
Persia setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepala
Negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak laki-lakinya, yakni saudara
laki-laki Buwaran, telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan.
Karenanya, Buwaran lalu dinobatkan sebagai ratu (kisra).
Kakek Buwaran adalah Kisra bin Barwaiz bin
Anusyirwan. Dia pernah dikirimi surat ajakan memeluk Islam oleh Nabi Muhammad.
Kisra menolak ajakan itu dan bahkan merobek-robek surat Nabi. Ketika Nabi
menerima laporan bahwa surat beliau telah dirobek-robek oleh Kisra, maka Nabi
lalu bersabda bahwa siapa saja yang telah merobek-robek surat beliau,
dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu. Tidak berselang lama, Kerajaan
Persia lalu dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh
keluarga dekat kepala Negara.
Pada waktu itu, derajat kaum wanita dalam
masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki. Wanita sama sekali tidak
dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih-lebih
dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-lakilah yang dianggap mampu mengurus
kepentingan masyarakat dan Negara. Keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di
Persia saja, tetapi juga di Jazirah Arab dan lain-lain. Islam dating mengubah
nasib kaum wanita. Mereka diberi berbagai hak, kehormatan, dan kewajiban oleh
Islam sesuai dengan harkat dan martabat mereka sebagai makhluk yang bertanggung
jawab di hadirat Allah, baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat, Maupun
negera.
Dalam kondisi Kerajaan Persia dan masyarakat
seperti itu, maka Nabi yang memiliki kearifan tinggi menyatakan bahwa bangsa
yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) mereka kepada
wanita tidak akan sukses (menang atau beruntung). Sebab bagaimana mungkin akan
sukses, kalau orang yang memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai
oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin adalah kewibawaan untuk menjadi pemimpin masyarakat.
Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum
wanita makin meningkat dan akhirnya dalam banyak hal, kaum wanita diberi
kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki, Al-Qur’an sendiri member peluang
sama kepada kaum wanita dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal
kebajikan.
Dalam keadaan wanita telah memiliki kewajiban dan
kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai
pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat sebagai pemimpin.
Dengan demikian, hadis di atas harus dipahami secara kontekstual sebab
kandungan petunjukkanya bersifat temporal.