Nabi SAW. menyebut shalat sebagai rahah (rehat).
Karena di dalamnya ada kelezatan, hilangnya kepenatan dan kelelahan, hadirnya
rasa lega dan sirnanya kegelisahan duniawi. Maka bukan hal yang aneh, jika Nabi
berwasiat kepada Bilal,
"Berdirilah wahai Bilal, (Isilah) rehatmu
dengan shalat!” (HR Abu Dawud)
Meskipun faktanya ada merasa berat dan justru
bertambah lelah ketika shalat, itu bukan karena Nabi yang salah resep. Tapi
lebih karena suasana hati dan bagaimana kondisi orang yang menjalankan shalat.
Jujur sajaa, berapa kali shalat yang kita lakukan
secara konsen sejak takbir pertama hingga salam? Mungkin sangat jarang, atau bias jadi belum pernah. Padahal,
bagian shalat yang mendapatkan nilai hanyalah saat dimana seseorang
menjalankannya dengan konsen.
“Sesungguhnya, seseorang yeng menyelesaikan
shalat, tidak tercatat (sebagai shalat) melainkan hanya sepersepuluhnya,
sepersembilannya, seperdelapannya,
sepertujuhnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya atau
separuhnya. (HR Abu Dawud)
Lemahnya penjagaan dibarengi dengan bisikan setan
khinzib yang intens mengingatkan urusan di luar shalat, menyebabkan shalat
tidak berkualitas. Jasad sedang shalat, tapi pikiran sedang padat dengan banyak
permasalahan. Lisan membaca ayat dan doa, tapi hati sedang sibuk dengan urusan
dunia. Kenikmatan yang kita rasakan pun nyaris tiada. Yang lebih dominan bahkan
rasa penat dan keinginan untuk menyudahi shalat secara kilat.
Keterikatan kepada dunia yang terlalu kuat juga
menjadi sebab cantolan kepada shalat yang merupakan urusan akhirat menjadi
lemah. Sehingga tatkala seseorang telah memulai shalat secara ritual, hatinya
masih sibuk dengan urusan dunia. Kelezatan shalat yang belum bias dirasakan
menjadikan shalat sebagai pengisi waktu, di sisa-sisa waktu dan tenaga. Wajar jika
shalat terasa berat untuk dikerjakan.
Shalat hanya dirasakan nikmat dan tidak berat
oleh orang yang khusyu’ dalam menjalankannya. Allah berfirman,
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS al-Baqarah-45)
Nabi adalah orang yang paling bisa menikmati
shalat. Beliau adalah orang yang supel dan menyenangkan ketika bercengkerama
dengan keluarga, tapi begitu masuk waktu shalat, seakan-akan beliau tidak
mengenal mereka. Karena perhatiannya tertuju kepada shalat, khusyu’ tatkala
menjalankannya. Sudah saatnya kita upayakan hadirnya khusyu’ di dalam shalat,
lalu kita rasakan indahnya berdekatan dengan sang Khaliq. (Abu Umar A)
0 komentar:
Posting Komentar